A.
PENDAHULUAN
Diakhir abad ke 18 dimana penduduk Kota
Padang saat itu baru berjumlah ± 14.000 jiwa yang terdiri dari suku Melayu
(Minangkabau) 11.000 jiwa, suku Nias sebanyak 770 jiwa sebagai pekerja pada
Belanda, selanjutnya warga Eropah 419 jiwa dan sisanya sebesar 1400 jiwa
berasal dari China, India, Arab dan Aceh. Pada waktu itu hanya ada satu buah
Masjid yang dibangun pedagang Arab dan India Muslim yang terletak di Pasar
Batipuh (kampung keling). Sementara di Kampung Gantiang baru ada satu buah
Mushalla/Surau tempat anak-anak belajar mengaji dan sekaligus sebagai tempat
menginap bagi pemuda yang telah menginjak dewasa.
Awal pembangunan Masjid Kampung Gantiang
ini dimulai tahun 1805 berupa sebuah bangunan surau kayu
diatas tanah suku kaum Chaniago, Masjid Kampung Gantiang berlantaikan batu
dengan dinding berplasterkan tanah. Ukuran yang dibangun adalah 30 x 30 m.
konstruksi atapnya berundak-undak/bertingkat mirip atap Masjid dipulau Jawa.
Ada 3 tokoh Kampung Gantiang dari suku Chaniago yang merencanakan pembangunan
Masjid Raya Gantiang, ketiga tokoh itu adalah :
1. Angku Gapuak
2. Angku Syech H. Uma
3. Angku Syech Kapalo Koto
B.
PEMBANGUNAN
Sebelumnya pada tahun 1790, letak Masjid
ini adalah ditepi Batang Arau, tepatnya dikaki Gunung Padang. Masjid yang
bentuk bangunannya sangat sederhana ini kemudian dihancurkan oleh Pemerintahan
Hindia –Belanda akibat dari pembuatan jalan ke pelabuhan Emma Haven (Teluk
Bayur). Tidak lama setelah itu, Masjid ini kembali dibangun dilokasi yang
sekarang yang berjarak sekitar 4 kilometer dari lokasi sebelumnya. Pembangunan
kembali tersebut diprakarsai oleh tokoh masyarakat setempat, dimana pada tahun
1805 telah disepakati untuk mulai membangun Masjid pada tanah wakaf 7 suku
yang diserahkan melalui Gubernur
Jenderal Ragen Bakh, penguasa Hindia-Belanda di Sumatera Barat pada waktu
itu. Dengan dukungan banyak pihak dan bantuan dari para saudagar dan ulama
Minangkabau baik yang ada di Sumatera Barat maupun diluar Sumatera Barat. Akhirnya,
pada tahun 1810 pembangunan kembali Masjid Raya Gantiang dapat diselesaikan.
Pada tahun 1833 terjadi gempa bumi di
Padang dan menimbulkan gelombang Tsunami yang merambah
sebagian besar Kota Padang. Masjid Raya Gantiang termasuk bangunan yang selamat
dari hantaman gelombang Tsunami. Namun lantai batu Masjid terpaksa diganti
dengan lantai campuran kapur kulit kerang dari batu apung.
Keberadaan Masjid yang saat itu masih
terlihat sederhana mendapat dukungan penuh dari salah seorang anggota Corps Genie Belanda berpangkat kapten
yang menjabat sebagai Komandan Genie wilayah Gouvernement Sumatra’s Westkust
(wilayah yang meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang). Sehingga pada
tahun 1900 dimulailah pemasangan Tegel dari Belanda, pemasangan tegel
tersebut ditangani oleh tukang yang ditunjuk langsung oleh pabrik dan selesai
pada tahun 1910. Pada tahun 1910 Belanda juga mendirikan sebuah pabrik
semen di Indarung Padang. Untuk mengangkut semen ke pelabuhan Emma Haven (Teluk
Bayur), Belanda membuka jalan baru melewati tanah ulayat Masjid Raya Gantiang
dan hampir sepertiga dari luas tanah wakaf untuk Masjid Raya Gantiang terpaksa
digunakan untuk jalan. Sebagai kompensasi atas tanah wakaf tersebut Belanda
membantu membangun bagian depan (fasad) dari Masjid mirip benteng spanyol yang
disiapkan oleh Zani bangunan Militer Belanda. Selain itu, semen yang
didatangkan dari Jerman. Sementara lantai Masjid yang terbuat dari batu kali
bersusun diplester tanah liat juga diganti dengan ubin yang dipesan kepada NV. YACOBSON VAN DE BERG & CO di
Belanda beserta tukang untuk memasangnya. Kemudian Setelah itu, dilanjutkan
dengan pembuatan Menara pada bagian kiri dan kanan Masjid yang selesai pada
tahun 1967. Sebelum kedua Menara itu selesai, pada tahun 1960 juga telah
dilakukan pemasangan keramik pada 25 tiang ruang utama yang aslinya terbuat
dari batu bata, begitu juga dengan dinding ruang utama juga dipasangi
keramik.
Sementara itu, etnis Cina dibawah komando
Kapten Lou Chian ko (kapten 10) ikut mengerahkan tukang-tukang China untuk
mengerjakan atap kubah yang dibuat bersegi delapan mirip bangunan atap
Vihara China. Begitu juga Mihrab tempat dimana Imam memimpin Sholat
dan menyampaikan Khutbahnya juga dibuat ukuran kayu mirip ukiran China.
Dibagian tengah Masjid juga dibangun sebuah panggung segi empat dari
kayu ukuran 4 yarm dan diberi ukiran China, tempat ini digunakan oleh bilal
untuk mengulang aba-aba Imam sewaktu Sholat berlangsung. Waktu itu, pengeras
suara dan listrik belum dikenal, hanya sayang kedua bangunan itu
tahun 1974 dibongkar oleh Pengurus Masjid yang bertugas pada saat itu. Pada
tahun 1803-1819, ketika gerakan Ulama Padri mulai bangkit di Minangkabau, maka
para ulama Padri juga mengambil peranan dalam pembangunan Masjid Raya Gantiang
kala itu. Peranan itu diberikan dalam bentuk pengiriman beberapa tukang ahli
ukiran Minangkabau yang akan dibuatkan pada papan les plang atap Masjid
tersebut.
C.
BANGUNAN TERTUA
Masjid
Raya Gantiang merupakan Masjid Tertua di Kota Padang yang pada awalnya
didirikan sebagai sarana pemersatu 8 suku yang ada di Kota Padang. Masjid ini
juga pernah menjadi pusat pergerakan perjuangan kemedekaan tahun 1945. Masjid
yang memiliki dua menara dan satu kubah utama ini memiliki 8 pintu dengan tiang
penyangga Masjid berjumlah 25 buah.
Sejak
dibangun, Masjid ini belum pernah dipugar secara besar-besaran kecuali
penambahan bangunan depan sepanjang 20 meter dan pada bagian depan terdapat
teras Masjid yang terlihat rapi dengan pilar-pilar ganda berjejer menyangga
langit-langit Masjid. Sejak tahun 1950, pengelolaan Masjid ini diambil alih
oleh Pemda Kota Padang dan diserahkan kepada Masyarat Gantiang untuk
mengurusnya. Karenanya Masyarakat Gantiang sangat menjaga keberadaan Masjid
yang dinilai memiliki sejarah yang cukup penting.
D. LOKASI
Masjid
Raya Gantiang berada di Jalan Gantiang No. 10, Kelurahan Gantiang Parak Gadang,
Kecamatan Padang Timur Kota Padang Provinsi Sumatera Barat. Masjid Raya
Gantiang berada persis dipinggiran jalan raya sehingga memudahkan akses
Masyarakat yang akan memanfaatkan Masjid pabila waktu Sholat tiba. Disebelah
Utara dan Timur berbatasan dengan rumah penduduk dan makam disebelah Barat dan
Selatan. Masjid yang semula dibangun sangat sederhana ini sekarang terbuat dari
beton dengan dinding yang cukup tebal 34 cm dan berwarna putih yang menjadi
cirri khasnya. Masjid Raya Gantiang berdiri diatas lahan seluas 102x95,6 m,
memiliki halaman yang cukup luas disebelah Timur yang mampu menampung jamaah
yang cukup banyak pada saat Sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Halaman depan
berpagar besi, sedangkan sisi Selatan dan belakang berpagar tembok berbatasan
dengan makam dan rumah-rumah penduduk. Bangunan Masjid berbentuk persegi
panjang berukuran 42x39 m yang terbagi atas serambi muka (12x39 m), serambi
kanan (30x4,5 m), serambi kiri (30x4,5 m), dan ruang utama (30x30 m).
E. ARSITEKTUR
a. Serambi Muka
Serambi
muka berbentuk persegi panjang memiliki enam buah pintu dari arah Timur dan dua
buah pintu masuk dari arah Utara dan Selatan, masing-masing berdaun pintu dari
jeruji besi. Diantara pintu masuk dari Timur terdapat hiasan tiang ganda semu,
kecuali pada bagian Tengah terdapat bangunan mimbar yang menonjol kedepan
memiliki daun pintu dari jeruji pula. Mimbar berukuran 2,2x1,2x2,75 m digunakan
pada pelaksanaan Sholat Id. Selain pintu juga terdapat jendela berteralis besi
terdapat disisi Utara dan Selatan masing-masing satu buah. Dinding Timur
berhiaskan geometris berupa panil-panil kosong berbentuk persegi panjang, bujur
sangkar, dan hiasan lengkung yang ditutup tembok, dan bermotif cincin dan mata
kampak. Tebal dinding 34 cm dan tinggi 3,2 m berwarna putih abu-abu pada hiasan
dan warna hijau pada bagian dasar. Pada sisi Utara dan Selatan bagian depan
terdapat ruangan berbentuk segi delapan dengan sebuah pintu dari arah Timur dan
sebuah jendela. Ruang serambi muka berlantai tegel berukuran 20x20 cm berwarna
kuning buah bermotif polos. Dalam ruangan terdapat tujuh buah tiang ganda
berbentuk silinder dari beton bergaris tengah 45 cm. tiang berdiri diatas umpak
beton berukuran lebar 113 cm, tinggi 70 cm, dan tebal 67 cm. selain itu,
terdapat pula dua buah tiang berbentuk segi empat terletak disisi Utara dan
Selatan dekat dengan ruangan berbentuk segi delapan.
b. Serambi Samping
Serambi
samping kiri dan kanan berlantai tegel berukuran 20x20 cm berwarna hijau muda
dengan motif segi enam. Masing-masing serambi memiliki dua buah pintu masuk
salah satu pintunya menuju ketempat Wudhu yang terdapat disisi Utara dan
Selatan Masjid. Pada bagian Barat disekat membentuk kamar (ribath) berukuran
4,5x3 m. Ribath (tempat tinggal pengurus Masjid) memiliki pintu dari arah timur
berukuran 2,25x0,90 m serta sebuah jendela berukuran 0,90x0,90 m.
c. Ruang Utama
Pintu masuk ruang utama berjumlah enam
buah disisi Timur (dan serambi muka) dan masing-masing dua buah disisi Utara
dan Selatan (dan serambi samping). Pintu masuk memiliki dua daun pintu dari
kayu dan pada ambang atas berhiaskan lengkungan kipas. Pintu berukuran lebar
1,6 m dan tinggi 2,64 m. jendela ruang utama terbuat dari kayu dan kaca berjumlah
dua buah disisi Timur mengapit kearah pintu masuk dan masing-masing tiga buah
disisi Utara dan Selatan serta enam buah disisi Barat. Jendela berukuran lebar
1,6 m dan tinggi 2 m. Seperti pada pintu, bagian ambang atas jendela juga
berbentuk lengkungan kipas dengan hiasan kerawang diatasnya.
Lantai ruang utama dari ubin berukuran
30x30 cm berwarna kuning. Dinding ruang utama Masjid terbuat dari beton
dilapisi keramik dan lantainya dari tegel putih berhiaskan bunga.
Dalam ruang utama terdapat 25 buah tiang
yang melambangkan 25 Nabi, berjajar lima buah yang masing-masing dilapisi
marmer putih. Sokoguru (tiang utama) Masjid ini berbentuk segi enam berdiameter
40 cm dengan tinggi mencapai 4,2 m tanpa hiasan dan terbuat dari beton.
Filosofi jumlah tiang tersebut diukir dengan tulisan kaligrafi, pada setiap
tiang diberi tulisan nama-nama Nabi ke-25 tiang tersebut. Berfungsi pula
sebagai penopang utama konstruksi atap Masjid yang berbentuk segi delapan.
Ditanah air, bentuk atap tumpang yang
berkembang cukup beragam mulai dari 2 tingkat hingga 7 tingkat. Masjid Raya
Gantiang memiliki atap tumpang berjumlah 5 tingkat dan seng warna merah yang masih
asli, belum pernah diganti. Ada celah ditiap bagian atap untuk pencahayaan.
Tingkat pertama berbentuk segi empat sedangkan tingkat kedua sampai empat
berbentuk segi delapan . tukang-tukang China sempat dikerahkan untuk
mengerjakan atap kubah yang mirip bangunan Vihara China ini. Pada setiap
tumpang dibatasi dengan panil-panil kayu bermotif ukiran Minangkabau. Pada
setiap ujung atap tumpang terdapat hiasan antefik sedangkan pada bagian mustoko
terdapat hiasan bulan bintang yang menunjukkan pengaruh Islam. Perpaduan gaya
Eropa dan Tradisional tersebut menguatkan keberadaan Masjid tersebut dibanding
bangunan lain yang memadati kawasan Gantiang.
Masjid Raya Gantiang juga memiliki tiga
Mimbar yang diletakkkan didalam mihrab yang terletak pada sisi Barat ruang
utama diapait oleh dua buah kamar disisi Utara dan Selatan. Mimbar yang berukuran
2x1,5 m, tinggi pada sisi Timur 3,2 m dan sisi Barat 2,1 m , Mimbar dihalaman,
dan satu lagi tidak difungsikan karena kondisi kayunya yang sudah lapuk. Dalam
ruang utama pernah dibuat bangunan Muzawir (penyambung imam) yang juga menjadi
ciri khas Masjid Raya Gantiang. Muzawir berfungsi sebagai tempat
mengumandangkan Adzan dan penyambung suara imam sehingga makmum dapat mengikuti
gerakan imam. Muzawir berukuran 4x4 m berbentuk panggung, sarat dengan ornament
gaya China dibangun atas sumbangan seorang China di Padang dan pembuatannya
dikerjakan langsung oleh ahli ukir China yang ada di Padang. Setelah ada pengeras
suara, bangunan Muzawir ini tidak digunakan lagi sehingga pada tahun 1978
bangunannya dibongkar.
Arsitektur Masjid Raya Gantiang merupakan
perpaduan dari berbagai corak arsitektur sebab pengerjaannya melibatkan beragam
etnik seperti Persia, Timur Tengah, Cina dan Minangkabau. Masjid Raya
Gantiang bergaya neo klasik Eropa. Dilihat dari konstruksi atap Masjid yang
berbentuk tumpang, Masjid Raya Gantiang tergolong Masjid kuno memiliki
ciri-ciri khas seperti berdenah persegi panjang, mempunyai serambi didepan atau
disamping ruang utama, mihrab dibagian Barat pagar keliling dengan satu pintu
utama. Semua ciri-ciri Masjid kuno bisa dijumpai pada pola bangunan Masjid Raya
Gantiang.
Pada serambi samping Masjid terdapat
tiang berbentuk segi enam dan tambun yang bagian atasnya terdapat hiasan
pelepit-pelepit rata. Bentuk tiang tersebut mengingatkan pada bentuk tiang
Doric pada arsitektur Eropa.
Bangunan tua bersejarah ini dihias dengan
seni hias Eropa seperti ukiran piala pada entablature dinding sisi luar,
parapet (tiang-tiang kerdil), panil-panil yang berhiasan lubang kunci. Dinding
bangunan bagian dalam dihias dengan pilaster sederhana. Sedangkan dinding
sebelah Timur dihias pilaster berbentuk order Doric kembar bergalur.
F. BANGUNAN LAIN
a. Tempat Berwudhu Laki-laki
Bangunan lain terdapat dalam komplek
Masjid Raya Gantiang antara lain tempat berwudhu laki-laki yang berukuran 10x3
m terletak disamping kanan Masjid. Tempat Wudhu dibuat permanen dan tertutup.
b.
Perpustakaan
Perpustakaan Masjid menempati sebuah
ruangan sederhana disisi utara Masjid dan masih menyatu dengan bangunan Masjid.
Ruangan perpustakaan yang berukuran 2,5x3 m³ ini juga digunakan sebagai ruang
sekretariat, tempat rapat Pengurus dan Administrasi computer. Perpustakaan
memiliki sekitar ± 700 macam judul buku yang rata-rata merupakan sumbangan dari
instansi dan pengunjung Masjid. Buku-buku ini dapat dibaca oleh masyarakat
serta jamaah Masjid tetapi tidak diperbolehkan untuk dipinjam/dibaca dirumah. Adapun
judul buku diantaranya mengenai Fiqih, tuntunan Sholat, Sunnah, Do’a-do’a,
Al-qur’an dan Terjemahannya dan masih banyak lagi judul-judul yang lain dan
yang pasti masih membahas seputar agama.
c.
Tempat
Berwudhu Wanita
Disebelah Selatan terdapat tempat berwudhu
wanita dan dibelakang Masjid terdapat makam yang dibuat sederhana dibatasi
dengan tembok berbentuk segi panjang. Salah satu makam yang ada diselatan
Masjid adalah makam Angku Syekh Haji Uma, pemrakasa pembuatan Masjid Raya
Gantiang. Sedangkan didalam makam yang terletak disisi Barat Masjid terdapat
prasasti yang berbunyi : “disini disemayamkan : Yml. Radja Bidoe Glr.
Marahindra Toeangkoe Panglima Radja di Padang, Vide Besluit Gouverneur General
Gegeven to Boitenzorg, 9 October 1830, wafat 1833 : Yml Marah Soe’ih Glr
Marahindra Toetngkoe Panglima Regent di Padang, Vide Besluit Gouverneur General
General Gegevente Batavia, 16 August 1868, wafat 1875 : Beliau keduanya dari
Soekoe Tjaniago Soemagek Kampung Alang Lawas Padang. “
G. BEBERAPA PERISTIWA PENTING MASJID RAYA
GANTIANG
1. Gempa dan Tsunami di Padang Tahun
1833
Ketika gempa tahun 1833 melanda Kota
Padang dan menimbulkan Tsunami, Masjid Raya Gantiang yang saat itu masih berupa
bangunan sederhana selamat dari hantaman gelombang Tsunami. Hanya saja lantai
Masjid yang semula terbuat dari batu yang disusun diganti dengan campuran kapur
yang diolah dari kulit kerang dan batu apung, sehingga lantainya relative lebih
datar daripada susunan sebelumnya.
2. Gerakan Pembaharuan Islam di
Minangkabau Tahun 1803
Pada tahun 1803 ketika gerakan
pembaharuan agama islam dikembangkan oleh kaum Padri sebagai kaum ulama yang
membawa perubahan agama Islam yang dibawa sebelumnya oleh aliran Tarikat
Satariyah yang dipelopori oleh Syech Burhanuddin Ulakan Pariaman.
Pada tahun 1918, berkumpullah seluruh
ulama pembaharuan agama Islam di Minangkabau yang saat itu di Masjid Raya
Gantiang. Pertemuan itu untuk membahas langkah-langkah yang akan ditempuh untuk
melaksanakan pemurnian ajaran agama Islam yang mana saat itu memang pemahaman
agama Islam masih diwarnai oleh pemahaman mistik dan khufarat yang merupakan
peninggalan agama Budha dan Hindu yang sebelumnya juga berkembang dikalangan
masyarakat Minangkabau saat itu.
3. Embarkasi Haji Pertama di Sumatera
Tengah
Dengan berfungsinya pelabuhan Emma Haven
(Teluk Bayur) juga menjadikan Masjid Raya Gantiang sebagai tempat pertama di
Sumatera Tengah (saat itu) untuk Embarkasi Haji. Dari Masjid inilah diberangkatkan
calon jemaah haji ke pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur) seterusnya naik kapal
menuju Mekkah.
4. Sekolah Thawalib Pertama di Padang
Tahun 1921
Pada tahun 1921, ketika Syech H. Karim
Amarullah (Ayah Prof. Dr. Hamka) mendirikan sekolah Thawalib di Padang Panjang,
maka beliau juga mendirikan sekolah yang sama di dalam pekarangan Masjid Raya
Gantiang sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat Padang saat itu.
Alumni dari sekolah ini mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) yang
merupakan cikal bakal Partai MASYUMI.
Pada tahun 1932, dilaksanakan Jambore
Nasional pertama Hizbul Wathan se-Indonesia di Masjid Raya Gantiang saat itu.
5. Tempat Mengungsi Bung Karno
Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun
1942, saat itu Soekarno yang ditahan Belanda di Bengkulu diungsikan oleh
Belanda ke Kota Cane (Aceh), namun ketika rombongan pasukan Belanda baru sampai
di Painan, tentara Jepang sudah sampai di Bukittinggi. Belanda merubah rencana
semula dengan mengungsi ke Barus dan meninggalkan Bung Karno di Painan.
Selanjutnya oleh Hizbul Wathan yang
bermarkas di Masjid Raya Gantiang saat itu, Bung Karno dijemput ke Painan untuk
dibawa ke Padang dengan menggunakan kendaraan pedati. Selama beberapa hari
Soekarno menginap di rumah Pengurus Masjid Raya Gantiang. Beberapa hari
kemudian Bung Karno dibawa ke Padang. Jepang menemui Syech Abbas Abdullah,
pimpinan Madrasah Darul Funuum El Abbasyi di Kabupaten 50 Kota untuk membahas
dasar-dasar Negara Indonesia sebagai langkah persiapan untuk kemerdekaan Negara
Indonesia.
6. Tempat Pembinaan Prajurit Gyugun –
Hei Ho
Selama penduduk tentara Jepang (1942 –
1945) di Sumatera Tengah (saat itu), Masjid Raya Gantiang menjadi tempat
pembinaan prajurit Gyugun dan Hei Ho, merupakan kesatuan tentara pribumi yang
dibentuk Jepang dan membantu tentara Jepang.
7. Kunjungan Beberapa Pejabat Tinggi
Negara dan Dari Negara Sahabat
Setelah kemerdekaan, Bung Karno yang
telah terpilih sebagai Presiden Pertama RI, berkunjung ke Masjid Raya Gantiang
sambil Nampak Tilas saat Bung Karno diungsikan dulu dari Bengkulu – Painan dan
Padang (Masjid Raya Gantiang).
Semenjak tahun 1950, Masjid Raya Gantiang
semakin ramai saja dikunjungi oleh orang-orang besar/pejabat Negara baik dari
dalam maupun luar Negeri. Tercatat dari beberapa pejabat Negara yang pernah
berkunjung ke Masjid Raya Gantiang antara lain : Wakil Presiden RI Dr.
Moehammad Hatta, Wakil Presiden RI Sri Sultan Hamengku Buwono IX,
Ketua DPR RI K. H. Achmad Syaichu, Ketua DPR/MPR Jendral Abdul Nasution,
dan beberapa Mentri Kabinet kita.
Dari Negara sahabat pernah pula
berkunjung ke Masjid Raya Gantiang antara lain : Sekretaris Negara Malaysia,
dari Saudi Arabia, Mesir dan Negara sahabat lainnya juga pernah berkunjung ke
Masjid Raya Gantiang Rekor Universitas Al-Azhar Cairo Mesir dan Beberapa orang
Mufti Hafiz Qur’an dari Mesir terutama pada bulan-bulan Ramadhan.
Disamping itu, juga banyak turis-turis
Manca Negara terutama dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam dalam
program “Wisata Dakwah/Agama” berkunjung ke Masjid Raya Gantiang ini untuk
melihat dari dekat fisik Masjid Raya Gantiang ini. Begitupun turis domestik
juga sering berkunjung ke Masjid Raya Gantiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar